Laman

Sabtu, 19 November 2011

Penghormatan HAM dalam Dunia Pendidikan Para Different Ability (Disability)


          Mungin saja kita telah lupa, dan lebih baiknya mari sejenak kita kilas balik terlebih dahulu ketiga instrumen utama HAM beserta protokol opsinya yang akrab kita sebut dengan The International Bill of Human Rights. Adapun ketiga instrumen utama tesebut meliputi The Universal Declaration of Human Rights (UDHR), The International Covenant on Civil and Political Rigths (ICCPR), dan juga The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Dari ketiga instrumen utama tersebut, saat ini UDHR-lah yang menjadi point of view terpenting. Kini, banyak sekali konstitusi di berbagai negara berkembang maupun negara maju merujuk pada The Universal Declaration of Human Rights (UDHR).
          Setelah kita kilas balik ketiga instrumen tersebut, kini mulailah kita berbicara tentang pendidikan dalam lingkaran HAM. Jika diklasifikasikan, pendidikan pada dasarnya masuk ke dalam instrumen ICCPR. The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada umumnya merupakan hak-hak yang mewajibkan suatau negara agar menahan diri dari tindakan atau campur tangan terhadap kehidupan individu atau kelompok masyarakat. Dan yang dimaksud disini adalah hak atas kesamaan di muka peradilan. Karena pendidikan yang akan kita fokuskan pada masalah ini, maka lebih utamanya kesamaan pada muka peradilan pendidikan. Dimana seseorang berhak mendapat persamaan dengan jalan keadilan pada pendidikan yang sedang maupun akan ia jalani nantinya.
          Seperti Agnes Davonar, penulis online novel best seller ini dalam novelnya “Ayah, Mengapa Aku Berbeda?”, mengisahkan seorang gadis tuna rungu yang mendapat saran dari sekolah lamanya di sebuah SLB untuk bersekolah di sekolah biasa seperti anak-anak normal lainnya. Namun kenyataannya, orang tua Angel-sapaan gadis itu.red- ditolak mentah-mentah oleh pihak sekolah. Meskipun pada akhirnya sekolah itu menyadari dan menerima Angel, penolakan dengan alasan yang cukup tidak logis dan membuat kita mungkin bertanya-tanya mengapa bisa hanya karena alasan sepele. Cerita real yang diangkat menjadi novel ini kian membuat kita melihat masih lemahnya penghormatan HAM kepada para penyandang cacat (different ability) oleh lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga yang seharusnya membangun mental para penyandang cacat tetapi malah berbalik membuat mereka merasa semakin lemah dan terpuruk atas penolakan tersebut.
           Terlebih lagi jika diucapkannya alasan tersebut secara blak-blakan secara lugas didepan orang tua anak tersebut maupun anak itu sendiri. Yang menjadi pertanyaan, berpikirkah mereka tentang rasa sakit hati orang tua anak tersebut? Atau berpikir pula lah mereka jika anak tersebut akan menjadi semakin down? Ini semua seharusnya kita realisasikan dan kaji lebih dalam, kita selami lagi untuk mensolve-nya. Terkadang HAM bisa saja menyangkut masalah perasaan. Seperti halnya pada masalah ini, karena tidak adanya penghormatan HAM kepada seorang yang mengidap different ability. Sesungguhnya tidaklah menjadi masalah, meski memiliki hambatan keterbatasan fisik sepanjang IQ-nya mampu, penderita cacat seharusnya bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah umum. Sayangnya, belum semua sekolah mau menerima kehadiran mereka. Sebagai alternatifnya, mereka pun belajar di sekolah luar biasa yang sebenarnya tidak sejalan dengan IQ-nya.
          Di sisi lain, fasilitas untuk penyandang cacat untuk mengakses pendidikan juga masih sangat terbatas dibandingkan siswa yang normal. Dalam bidang ketenagakerjaan pun, penyandang cacat belum terakomodasi dan teraktualisasi penuh untuk dapat mengakses pekerjaan yang layak di ranah publik sesuai bidang mereka masing-masing. Profesi sebagai pengamen dan tukang pijat yang melekat pada sebagian besar penyandang cacat merupakan buah dari kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap penyandang cacat.
          Ketegasan sebenarnya sudah terpampang jelas dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Serta ada pula aksesorisnya sebagai pelengkap dalam UUD 1945 pasal 31. Didalamnya telah teramanatkan untuk kita semua segala tentang hak asasi atas pendidikan, kesempatan pendidikan yang sama bagi setiap WNI. Terlepas dari penyebab kecacatannya, baik cacat fisik maupun mental, jumlah penyandang cacat meningkat dari waktu ke waktu. WHO  memperkirakan jumlah penyandang cacat ada 10% dari total penduduk yang tersebar di daerah perkotaan maupun pedesaan. Permasalahan sebagai akibat dari kecacatan diantaranya : ketidak berfungsian sosial; terbatasnya sarana-prasarana sosial dan pendidikan termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum serta terbatasnya lapangan kerja bagi mereka. Dalam konteks inilah pelayanan pendidikan amat dibutuhkan oleh penyandang cacat untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
          Tema yang kita ambil ini sebenarnya sangat interest jika dijadikan sebuah semboyan. Sebuah ikon yang kedepannya bisa melekat di hati para generasi penerus. Ya, “HAM untuk semua dan semua untuk HAM”. Karena pada dasarnya, bagaimana pun juga adanya HAM sendiri pun terlepas karena adanya kesenjangan dengan peradilan terhadap makhluk cipataan Allah yang mulia ini. Banyaknya kesenjangan yang terjadi itu pun menjadikan HAM yang lahir lambat laun menjadi bersifat kodrati untuk setiap jiwa yang lahir ke dunia ini. Dengan tanpa memandang siapa pun ia, keluarganya, latar budayanya, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar