Laman

Selasa, 19 Juni 2012

Rahasia Ka Hannan


                Bukannya kembali pulih pasca operasi, umi malah semakin terlihat layu. Dokter mengharuskannya menjalani operasi kedua karena jaringan sel-sel kanker itu tumbuh kembali. Beningnya bulir-bulir dari matanya tak henti-hentinya mengalir di pipi pucatnya menemaninya setiap saat. Begitu besar resiko jika operasi kedua ini dilakukan bila dibandingkan dengan operasi pertama. Kanker itu pula yang membuat habis tubuh umi hingga sekurus ini. Terbaring di kamar terus-menerus juga membuatnya terlalu terhanyut dalam kegundahan.
                “Umi, Ka Hannan pergi dari jam 8 semalam. Dia hanya bilang padaku akan pulang lusa dan jangan ganggu-ganggu dia dengan mengirim bbm apapun ataupun menelponnya,” aku melapor pada umi.
                “Mau kemana lagi si Hannan? Menginap di rumah Fina lagi ya, Tan?”
                “Iii..yaa, mi. Sepertinya begitu,” tukasku penuh keraguan. Dadaku pun seketika dipenuhi sesal dan rasa bersalah karena aku kembali berbohong pada umi. Aku menjawab iya karena aku tak mau umi khawatir dan kepikiran dengan Ka Hannan. Dan kenyataan yang sebenarnya aku tak tau entah kemana perginya Ka Hannan.
                Sejak umi divonis kanker serviks, keidupan K a Hannan semakin tak menentu dan merasa seperti orang yang frustasi. Baginya, melihat umi dirumah yang semakin bertambah buruk setiap harinya hanya akan membuatnya semakin sesak dan tertekan. Pergi ke suatu tempat yang membuatnya tenang merupakan pelariannya selama ini.


****

                “Jadi kemana kita harus mengikutimu hari ini, Fat? Kamu sudah menemukan narasumber yang pas untuk wawancara kita?” tanya Said pada Fatma.
                “Udah dong. Kemarin aku sudah buat janji dengan seorang profesor lulusan Zurich University yang telah lama berkecimpung di bidang tumor dan kanker. Dan hari ini kalian harus ikut aku untuk menemui beliau di rumah sakit tempat beliau bekerja,” cetus Fatma dengan begitu semangat.
                Ibu Indah memberikan tugas wawancara dan membuat makalah kepada kami tentang penyakit-penyakit yang tergolong berat namun saat inisemakin bertambah banyak penderitanya. Fahri, ketua kelompokku, memilih penyakit kanker serviks yang saat ini hampir setiap harinya 1 orang perempuan meninggal karena kanker serviks. Jelas saja aku langsung meloncat semangat karena penyakit itu lah yang diderita umi. Dengan adanya tugas ini semakin mudah jalanku untuk tahu lebih banyak tentang penyakit itu.
                Pukul 11.00 aku, Fahri, Fatma, dan Said telah sampai di rumah sakit tempat praktik profesor itu bekerja. Prof. Dr. Ibrahim Khauf namanya. Siang yang begitu terik ini membuat kami lelah dengan macet jalanan Jakarta yang tak ada habisnya. Setelah menemui Profesor kami bergegas menuju cafetaria rumah sakit untuk istirahat sejenak dan makan siang.

****

Wanita yang menangis sesunggukan itu keluar dari ruangan Profesor Ibrahim. Namun rasanya aku tak asing lagi dengan baju yang dikenakan wanita itu, dari cara berjalannya, serta bentuk tubuhnya. Sosok berpakaian dress semi gamis garis-garis kuning dan berhijab pashmina oranye itu berjalan membelakangi kami dan berlawanan arahnya. Kami hendak menuju cafetaria di timur rumah sakit dan wanita itu sepertinya hendak menuju pusat radiologi di barat rumah sakit. Tubuhnya yang semampai berlari-lari kecil, terlihat di tangannya ia memegang beberapa hasil rongten yang dilapisi amplop rumah sakit. Dan aku pun akhirnya menyadari. Wanita yang sedari tadi itu membuat aku terfokus padanya adalah dia. Ya, dialah Ka Hannan-ku.
“Tania, kamu kok bengong? Muka kamu pucat banget, kamu sakit? Makanan yang kamu pesan juga tidak kamu habiskan. Ayo habisin! Profesor Ibrahim bilang kita bisa menemui beliau ba’da zuhur!” Fahri menegurku.
“Aaaah aku tidak kenapa-kenapa. Ayo kita ke musholla, kita sholat zuhur saja! Aku tidak lapar kok, aku lagi sedang tidak nafsu makan,” jawabku dengan wajah penuh kebingunan. Dan mungkin aku terlihat sangat linglung. Kontan mereka bertiga memasang tatapan aneh kepadaku, tapi aku tak peduli.
Siang yang begitu menggugah keringat untuk banjir ini sangat menyebalkan. Untung ruangan Profesor Ibrahim AC-nya oke. Kami berempat pun beraksi mewawancarai beliau dengan beruntun pertanyaan yang telah kami siapkan sebelumnya. Rasa kagum kepada Profesor Ibrahim begitu tertanam semakin kami dengarkan semua penjelasan beliau. Mmmh, memang Fatma tidak slah lagi dan sangat pintar memilih beliau untuk menjadi narasumber kami. Pukul 14.00, akhirnya kami usaikan segala obrolan panjang yang menggebu-gebu bersama Profesor Ibrahim ini.
Fatma, Said, dan Fahri berjalan lebih dahulu di depanku. Entah mengapa hati ini terasa sangat janggal sekali. Aku putuskan untuk bilang dan menyuruh mereka bertiga aku akan pulang sendiri karena masih ada urusan lagi untuk mengkamuflase. Aku hendak ke ruangan Profesor kembali untuk menanyakan tentang kedatangan Ka Hannan kemari.
“Assalamu ‘alaikum, Prof!” salamku.
“Wassalamu ‘alaikum, Tania! Ada yang tertinggal? Mengapa balik lagi?” wajah Profesor tampak penuh tanya.
“Prof, aku mohon jelaskan kepadaku ada keperluan apa perempuan berbaju kuning dan berhijab oranye tadi menemui Profesor?” tampangku memelas.
“Maaf Tania. Saya tidak bisa membuka atau menceritakan begitu saja tanpa izin dari perempuan yang bersangkutan itu,”
“Tapi Prof, sesunguhnya aku ini adik dari perempuan itu,”
“Apa buktinya kalau kamu adik dari dia?”
“Namanya Hannan Safira, bukan? Lalu umurnya menginjak 22 tahun dan dia lulusan Nanyang Technologi University,”
“Ya ya sudah. Saya percaya padamu Tania. Hannan mengidap kanker serviks stadium lanjut sejak 7 bulan yang lalu. Semangat hidupnya semakin pudar setelah ia tahu uminya juga mengidap penyakit yang sama dengannya. Saya juga sangat simpati dan kasihan padanya. Padahal ia wanita yang sangat cerdas dan masih muda tapi kenapa harus menderita sekali seperti itu. Ia menyimpan penyakit itu sendiri, ia berobat bolak-balik menemui saya kesini pun sendiri. Alasannya adalah karena ibunya sudah cukup tertekan selama ini dan ia tidak mau menambah penderitaan uminya serta keluarganya yang lain ikut kepikiran dengannya.”
“Maafkan aku Prof, aku jadi nangis begini,” aku sesunggukan sendiri.
“Justru saya yang harusnya minta maaf pada kamu, Tania. Kamu jadi nangis seperti ini. Yang tabah yah, saya yakin kamu juga seorang wanita yang kuat sama seperti kakakmu,”
“Amin Prof. Do’akan agar saya selalu ada untuk Ka Hannan dan Umi,”
“Lalu apa kamu tahu juga kemana selama ini jika Hannan pergi dari rumah?”
“Tidak Prof. Sama sekali tidak ada yang aku tahu. Maka dari itu ceritakan semua yang Prof tau tentang Ka Hannan! Aku mohon Prof!”
“ Selama ini dia menghabiskan waktu di sebuah panti asuhan. Ia menginap disana, mengajarkan anak-anak disana apa pun yang menurutnya anak-anak itu belum bisa, membawakan makanan atau bingkisan-bingkisan, atau pun mengajak mereka jalan-jalan. Dia bilang, ia hanya ingin sisa-sisa umurnya bermanfaat untuk orang banyak jika seandainya memang Allah tidak akan memberinya kesembuhan dan mendatangkan maut karena penyakit itu,”
Hening. Pikiranku begitu kosong. Aku begitu rapuh dengan semua kenyataan ini. Mengapa aku harus dikelilingi dua perempuan yang sangat aku sayangi sama-sama mengidap penyakit yang sangat mengerikan dan mematikan nomor satu di dunia itu. Tak ku hiraukan lagi air mata hangat ini mengalir deras di hadapan Profesor Ibrahim.