Bukannya
kembali pulih pasca operasi, umi malah semakin terlihat layu. Dokter
mengharuskannya menjalani operasi kedua karena jaringan sel-sel kanker itu
tumbuh kembali. Beningnya bulir-bulir dari matanya tak henti-hentinya mengalir
di pipi pucatnya menemaninya setiap saat. Begitu besar resiko jika operasi
kedua ini dilakukan bila dibandingkan dengan operasi pertama. Kanker itu pula
yang membuat habis tubuh umi hingga sekurus ini. Terbaring di kamar
terus-menerus juga membuatnya terlalu terhanyut dalam kegundahan.
“Umi,
Ka Hannan pergi dari jam 8 semalam. Dia hanya bilang padaku akan pulang lusa
dan jangan ganggu-ganggu dia dengan mengirim bbm apapun ataupun menelponnya,”
aku melapor pada umi.
“Mau
kemana lagi si Hannan? Menginap di rumah Fina lagi ya, Tan?”
“Iii..yaa,
mi. Sepertinya begitu,” tukasku penuh keraguan. Dadaku pun seketika dipenuhi
sesal dan rasa bersalah karena aku kembali berbohong pada umi. Aku menjawab iya
karena aku tak mau umi khawatir dan kepikiran dengan Ka Hannan. Dan kenyataan
yang sebenarnya aku tak tau entah kemana perginya Ka Hannan.
Sejak
umi divonis kanker serviks, keidupan K a Hannan semakin tak menentu dan merasa
seperti orang yang frustasi. Baginya, melihat umi dirumah yang semakin
bertambah buruk setiap harinya hanya akan membuatnya semakin sesak dan
tertekan. Pergi ke suatu tempat yang membuatnya tenang merupakan pelariannya
selama ini.
****
“Jadi
kemana kita harus mengikutimu hari ini, Fat? Kamu sudah menemukan narasumber yang
pas untuk wawancara kita?” tanya Said pada Fatma.
“Udah
dong. Kemarin aku sudah buat janji dengan seorang profesor lulusan Zurich
University yang telah lama berkecimpung di bidang tumor dan kanker. Dan hari
ini kalian harus ikut aku untuk menemui beliau di rumah sakit tempat beliau
bekerja,” cetus Fatma dengan begitu semangat.
Ibu
Indah memberikan tugas wawancara dan membuat makalah kepada kami tentang
penyakit-penyakit yang tergolong berat namun saat inisemakin bertambah banyak
penderitanya. Fahri, ketua kelompokku, memilih penyakit kanker serviks yang
saat ini hampir setiap harinya 1 orang perempuan meninggal karena kanker
serviks. Jelas saja aku langsung meloncat semangat karena penyakit itu lah yang
diderita umi. Dengan adanya tugas ini semakin mudah jalanku untuk tahu lebih
banyak tentang penyakit itu.
Pukul
11.00 aku, Fahri, Fatma, dan Said telah sampai di rumah sakit tempat praktik
profesor itu bekerja. Prof. Dr. Ibrahim Khauf namanya. Siang yang begitu terik
ini membuat kami lelah dengan macet jalanan Jakarta yang tak ada habisnya. Setelah
menemui Profesor kami bergegas menuju cafetaria rumah sakit untuk istirahat
sejenak dan makan siang.
****
Wanita yang
menangis sesunggukan itu keluar dari ruangan Profesor Ibrahim. Namun rasanya aku
tak asing lagi dengan baju yang dikenakan wanita itu, dari cara berjalannya,
serta bentuk tubuhnya. Sosok berpakaian dress semi gamis garis-garis kuning dan
berhijab pashmina oranye itu berjalan membelakangi kami dan berlawanan arahnya.
Kami hendak menuju cafetaria di timur rumah sakit dan wanita itu sepertinya
hendak menuju pusat radiologi di barat rumah sakit. Tubuhnya yang semampai
berlari-lari kecil, terlihat di tangannya ia memegang beberapa hasil rongten
yang dilapisi amplop rumah sakit. Dan aku pun akhirnya menyadari. Wanita yang
sedari tadi itu membuat aku terfokus padanya adalah dia. Ya, dialah Ka
Hannan-ku.
“Tania, kamu
kok bengong? Muka kamu pucat banget, kamu sakit? Makanan yang kamu pesan juga
tidak kamu habiskan. Ayo habisin! Profesor Ibrahim bilang kita bisa menemui
beliau ba’da zuhur!” Fahri menegurku.
“Aaaah aku
tidak kenapa-kenapa. Ayo kita ke musholla, kita sholat zuhur saja! Aku tidak
lapar kok, aku lagi sedang tidak nafsu makan,” jawabku dengan wajah penuh
kebingunan. Dan mungkin aku terlihat sangat linglung. Kontan mereka bertiga
memasang tatapan aneh kepadaku, tapi aku tak peduli.
Siang yang
begitu menggugah keringat untuk banjir ini sangat menyebalkan. Untung ruangan
Profesor Ibrahim AC-nya oke. Kami berempat pun beraksi mewawancarai beliau
dengan beruntun pertanyaan yang telah kami siapkan sebelumnya. Rasa kagum
kepada Profesor Ibrahim begitu tertanam semakin kami dengarkan semua penjelasan
beliau. Mmmh, memang Fatma tidak slah lagi dan sangat pintar memilih beliau
untuk menjadi narasumber kami. Pukul 14.00, akhirnya kami usaikan segala
obrolan panjang yang menggebu-gebu bersama Profesor Ibrahim ini.
Fatma, Said,
dan Fahri berjalan lebih dahulu di depanku. Entah mengapa hati ini terasa
sangat janggal sekali. Aku putuskan untuk bilang dan menyuruh mereka bertiga
aku akan pulang sendiri karena masih ada urusan lagi untuk mengkamuflase. Aku
hendak ke ruangan Profesor kembali untuk menanyakan tentang kedatangan Ka
Hannan kemari.
“Assalamu
‘alaikum, Prof!” salamku.
“Wassalamu
‘alaikum, Tania! Ada yang tertinggal? Mengapa balik lagi?” wajah Profesor
tampak penuh tanya.
“Prof, aku
mohon jelaskan kepadaku ada keperluan apa perempuan berbaju kuning dan berhijab
oranye tadi menemui Profesor?” tampangku memelas.
“Maaf Tania.
Saya tidak bisa membuka atau menceritakan begitu saja tanpa izin dari perempuan
yang bersangkutan itu,”
“Tapi Prof,
sesunguhnya aku ini adik dari perempuan itu,”
“Apa buktinya
kalau kamu adik dari dia?”
“Namanya
Hannan Safira, bukan? Lalu umurnya menginjak 22 tahun dan dia lulusan Nanyang
Technologi University,”
“Ya ya sudah.
Saya percaya padamu Tania. Hannan mengidap kanker serviks stadium lanjut sejak
7 bulan yang lalu. Semangat hidupnya semakin pudar setelah ia tahu uminya juga
mengidap penyakit yang sama dengannya. Saya juga sangat simpati dan kasihan
padanya. Padahal ia wanita yang sangat cerdas dan masih muda tapi kenapa harus
menderita sekali seperti itu. Ia menyimpan penyakit itu sendiri, ia berobat
bolak-balik menemui saya kesini pun sendiri. Alasannya adalah karena ibunya
sudah cukup tertekan selama ini dan ia tidak mau menambah penderitaan uminya
serta keluarganya yang lain ikut kepikiran dengannya.”
“Maafkan aku
Prof, aku jadi nangis begini,” aku sesunggukan sendiri.
“Justru saya
yang harusnya minta maaf pada kamu, Tania. Kamu jadi nangis seperti ini. Yang
tabah yah, saya yakin kamu juga seorang wanita yang kuat sama seperti kakakmu,”
“Amin Prof.
Do’akan agar saya selalu ada untuk Ka Hannan dan Umi,”
“Lalu apa kamu
tahu juga kemana selama ini jika Hannan pergi dari rumah?”
“Tidak Prof.
Sama sekali tidak ada yang aku tahu. Maka dari itu ceritakan semua yang Prof
tau tentang Ka Hannan! Aku mohon Prof!”
“ Selama ini
dia menghabiskan waktu di sebuah panti asuhan. Ia menginap disana, mengajarkan
anak-anak disana apa pun yang menurutnya anak-anak itu belum bisa, membawakan
makanan atau bingkisan-bingkisan, atau pun mengajak mereka jalan-jalan. Dia
bilang, ia hanya ingin sisa-sisa umurnya bermanfaat untuk orang banyak jika
seandainya memang Allah tidak akan memberinya kesembuhan dan mendatangkan maut
karena penyakit itu,”
Hening.
Pikiranku begitu kosong. Aku begitu rapuh dengan semua kenyataan ini. Mengapa
aku harus dikelilingi dua perempuan yang sangat aku sayangi sama-sama mengidap
penyakit yang sangat mengerikan dan mematikan nomor satu di dunia itu. Tak ku
hiraukan lagi air mata hangat ini mengalir deras di hadapan Profesor Ibrahim.