Laman

Selasa, 19 Juni 2012

Rahasia Ka Hannan


                Bukannya kembali pulih pasca operasi, umi malah semakin terlihat layu. Dokter mengharuskannya menjalani operasi kedua karena jaringan sel-sel kanker itu tumbuh kembali. Beningnya bulir-bulir dari matanya tak henti-hentinya mengalir di pipi pucatnya menemaninya setiap saat. Begitu besar resiko jika operasi kedua ini dilakukan bila dibandingkan dengan operasi pertama. Kanker itu pula yang membuat habis tubuh umi hingga sekurus ini. Terbaring di kamar terus-menerus juga membuatnya terlalu terhanyut dalam kegundahan.
                “Umi, Ka Hannan pergi dari jam 8 semalam. Dia hanya bilang padaku akan pulang lusa dan jangan ganggu-ganggu dia dengan mengirim bbm apapun ataupun menelponnya,” aku melapor pada umi.
                “Mau kemana lagi si Hannan? Menginap di rumah Fina lagi ya, Tan?”
                “Iii..yaa, mi. Sepertinya begitu,” tukasku penuh keraguan. Dadaku pun seketika dipenuhi sesal dan rasa bersalah karena aku kembali berbohong pada umi. Aku menjawab iya karena aku tak mau umi khawatir dan kepikiran dengan Ka Hannan. Dan kenyataan yang sebenarnya aku tak tau entah kemana perginya Ka Hannan.
                Sejak umi divonis kanker serviks, keidupan K a Hannan semakin tak menentu dan merasa seperti orang yang frustasi. Baginya, melihat umi dirumah yang semakin bertambah buruk setiap harinya hanya akan membuatnya semakin sesak dan tertekan. Pergi ke suatu tempat yang membuatnya tenang merupakan pelariannya selama ini.


****

                “Jadi kemana kita harus mengikutimu hari ini, Fat? Kamu sudah menemukan narasumber yang pas untuk wawancara kita?” tanya Said pada Fatma.
                “Udah dong. Kemarin aku sudah buat janji dengan seorang profesor lulusan Zurich University yang telah lama berkecimpung di bidang tumor dan kanker. Dan hari ini kalian harus ikut aku untuk menemui beliau di rumah sakit tempat beliau bekerja,” cetus Fatma dengan begitu semangat.
                Ibu Indah memberikan tugas wawancara dan membuat makalah kepada kami tentang penyakit-penyakit yang tergolong berat namun saat inisemakin bertambah banyak penderitanya. Fahri, ketua kelompokku, memilih penyakit kanker serviks yang saat ini hampir setiap harinya 1 orang perempuan meninggal karena kanker serviks. Jelas saja aku langsung meloncat semangat karena penyakit itu lah yang diderita umi. Dengan adanya tugas ini semakin mudah jalanku untuk tahu lebih banyak tentang penyakit itu.
                Pukul 11.00 aku, Fahri, Fatma, dan Said telah sampai di rumah sakit tempat praktik profesor itu bekerja. Prof. Dr. Ibrahim Khauf namanya. Siang yang begitu terik ini membuat kami lelah dengan macet jalanan Jakarta yang tak ada habisnya. Setelah menemui Profesor kami bergegas menuju cafetaria rumah sakit untuk istirahat sejenak dan makan siang.

****

Wanita yang menangis sesunggukan itu keluar dari ruangan Profesor Ibrahim. Namun rasanya aku tak asing lagi dengan baju yang dikenakan wanita itu, dari cara berjalannya, serta bentuk tubuhnya. Sosok berpakaian dress semi gamis garis-garis kuning dan berhijab pashmina oranye itu berjalan membelakangi kami dan berlawanan arahnya. Kami hendak menuju cafetaria di timur rumah sakit dan wanita itu sepertinya hendak menuju pusat radiologi di barat rumah sakit. Tubuhnya yang semampai berlari-lari kecil, terlihat di tangannya ia memegang beberapa hasil rongten yang dilapisi amplop rumah sakit. Dan aku pun akhirnya menyadari. Wanita yang sedari tadi itu membuat aku terfokus padanya adalah dia. Ya, dialah Ka Hannan-ku.
“Tania, kamu kok bengong? Muka kamu pucat banget, kamu sakit? Makanan yang kamu pesan juga tidak kamu habiskan. Ayo habisin! Profesor Ibrahim bilang kita bisa menemui beliau ba’da zuhur!” Fahri menegurku.
“Aaaah aku tidak kenapa-kenapa. Ayo kita ke musholla, kita sholat zuhur saja! Aku tidak lapar kok, aku lagi sedang tidak nafsu makan,” jawabku dengan wajah penuh kebingunan. Dan mungkin aku terlihat sangat linglung. Kontan mereka bertiga memasang tatapan aneh kepadaku, tapi aku tak peduli.
Siang yang begitu menggugah keringat untuk banjir ini sangat menyebalkan. Untung ruangan Profesor Ibrahim AC-nya oke. Kami berempat pun beraksi mewawancarai beliau dengan beruntun pertanyaan yang telah kami siapkan sebelumnya. Rasa kagum kepada Profesor Ibrahim begitu tertanam semakin kami dengarkan semua penjelasan beliau. Mmmh, memang Fatma tidak slah lagi dan sangat pintar memilih beliau untuk menjadi narasumber kami. Pukul 14.00, akhirnya kami usaikan segala obrolan panjang yang menggebu-gebu bersama Profesor Ibrahim ini.
Fatma, Said, dan Fahri berjalan lebih dahulu di depanku. Entah mengapa hati ini terasa sangat janggal sekali. Aku putuskan untuk bilang dan menyuruh mereka bertiga aku akan pulang sendiri karena masih ada urusan lagi untuk mengkamuflase. Aku hendak ke ruangan Profesor kembali untuk menanyakan tentang kedatangan Ka Hannan kemari.
“Assalamu ‘alaikum, Prof!” salamku.
“Wassalamu ‘alaikum, Tania! Ada yang tertinggal? Mengapa balik lagi?” wajah Profesor tampak penuh tanya.
“Prof, aku mohon jelaskan kepadaku ada keperluan apa perempuan berbaju kuning dan berhijab oranye tadi menemui Profesor?” tampangku memelas.
“Maaf Tania. Saya tidak bisa membuka atau menceritakan begitu saja tanpa izin dari perempuan yang bersangkutan itu,”
“Tapi Prof, sesunguhnya aku ini adik dari perempuan itu,”
“Apa buktinya kalau kamu adik dari dia?”
“Namanya Hannan Safira, bukan? Lalu umurnya menginjak 22 tahun dan dia lulusan Nanyang Technologi University,”
“Ya ya sudah. Saya percaya padamu Tania. Hannan mengidap kanker serviks stadium lanjut sejak 7 bulan yang lalu. Semangat hidupnya semakin pudar setelah ia tahu uminya juga mengidap penyakit yang sama dengannya. Saya juga sangat simpati dan kasihan padanya. Padahal ia wanita yang sangat cerdas dan masih muda tapi kenapa harus menderita sekali seperti itu. Ia menyimpan penyakit itu sendiri, ia berobat bolak-balik menemui saya kesini pun sendiri. Alasannya adalah karena ibunya sudah cukup tertekan selama ini dan ia tidak mau menambah penderitaan uminya serta keluarganya yang lain ikut kepikiran dengannya.”
“Maafkan aku Prof, aku jadi nangis begini,” aku sesunggukan sendiri.
“Justru saya yang harusnya minta maaf pada kamu, Tania. Kamu jadi nangis seperti ini. Yang tabah yah, saya yakin kamu juga seorang wanita yang kuat sama seperti kakakmu,”
“Amin Prof. Do’akan agar saya selalu ada untuk Ka Hannan dan Umi,”
“Lalu apa kamu tahu juga kemana selama ini jika Hannan pergi dari rumah?”
“Tidak Prof. Sama sekali tidak ada yang aku tahu. Maka dari itu ceritakan semua yang Prof tau tentang Ka Hannan! Aku mohon Prof!”
“ Selama ini dia menghabiskan waktu di sebuah panti asuhan. Ia menginap disana, mengajarkan anak-anak disana apa pun yang menurutnya anak-anak itu belum bisa, membawakan makanan atau bingkisan-bingkisan, atau pun mengajak mereka jalan-jalan. Dia bilang, ia hanya ingin sisa-sisa umurnya bermanfaat untuk orang banyak jika seandainya memang Allah tidak akan memberinya kesembuhan dan mendatangkan maut karena penyakit itu,”
Hening. Pikiranku begitu kosong. Aku begitu rapuh dengan semua kenyataan ini. Mengapa aku harus dikelilingi dua perempuan yang sangat aku sayangi sama-sama mengidap penyakit yang sangat mengerikan dan mematikan nomor satu di dunia itu. Tak ku hiraukan lagi air mata hangat ini mengalir deras di hadapan Profesor Ibrahim.

Sabtu, 26 Mei 2012

Hati Bersua


Biarlah semua terefleksi sempurna
Hingga tiada lagi teka dan teki
Keheningan itu yang jadi bukti
Karena segala yang tersirat ternyata hampa
Allah yang Maha merobohkan tembok perasaan
Kita terlalu munafik untuk berpaling dari-Nya
Coba lewati padang sabana keharuan itu
Lalu tanyalah kemana matahari hilangnya
Arah yang membuat bisu
Arah yang mendengungkan ragu
Detik pun merangkai menitnya sendiri
Dan bulan merangkai tahunnya sendiri
Arasy sang singgasana itu pun menjauh
Membuatmu iri kepada Tuhanmu Allah
Iri dengan segala tabiat keagungannya
Sendu tertampak di kesenjaan
Hati yang tersembunyi
Hati yang selalu bersua

Rabu, 25 April 2012

Perkembangan Penyempurnaan Ejaan


Berikut ini beberapa tahapan perkembangan ejaan dalam bahasa Indonesia:
  1. Ejaan van Ophuijsen
Disebut ejaan van Ophuijsen karena penggagasnya adalah seorang Belanda yang bernama Charles van Ophuijsen. Ia dibantu Nawawi Soetan Ma’moer dan Muhammad Taib Setan Ibrahim untuk menyusun ejaan ini pada tahun 1866 yang kemudian resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901.

  1. Ejaan Republik
Pengganti ejaan van Ophuijsen ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947. Dikenal juga dengan nama ejaan Soewandi karena penggagasnya adalah Soewanti yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia ke-3.

  1. Ejaan Melindo
Pengganti ejaan Republik/Soewandi adalah ejaan Melindo. Ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Ketika itu Slametmulyana-Syeh Nasir bin Ismail meresmikan ejaan ini dalam sidang perutusan Melayu dan Indonesia.

  1. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan yang  dianggap paling sempurna dibandingkan dengan ejaan-ejaan yang sebelumnya ini diresmikan pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No.57, Tahun 1972.

Kamis, 15 Maret 2012

بلاغة سورة الفاتحة من لمسات بيانية


الحمد لله:
معنى الحمد : الثناء على الجميل من النعمة أو غيرها مع المحبة والإجلال ، فالحمد أن تذكر محاسن الغير سواء كان ذلك الثناء على صفة من صفاته الذاتية كالعلم والصبر والرحمة أم على عطائه وتفضله على الآخرين. ولا يكون الحمد إلا للحي العاقل.
وهذا أشهر ما فرق بينه وبين المدح فقد تمدح جمادا ولكن لا تحمده ؛ وقد ثبت أن المدح أعم من الحمد. فالمدح قد يكون قبل الإحسان وبعده ؛ أما الحمد فلا يكون إلا بعد الإحسان ، فالحمد يكون لما هو حاصل من المحاسن في الصفات أو الفعل فلا يحمد من ليس في صفاته ما يستحق الحمد ؛ أما المدح فقد يكون قبل ذلك فقد تمدح إنساناً ولم يفعل شيئا من المحاسن والجميل ولذا كان المدح منهياً عنه ؛ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:”احثوا التراب في وجه المداحين” بخلاف الحمد فإنه مأمور به فقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:”من لم يحمد الناس لم يحمد الله
وبذا علمنا من قوله: الحمد لله” أن الله حي له الصفات الحسنى والفعل الجميل فحمدناه على صفاته وعلى فعله وإنعامه ولو قال المدح لله لم يفد شيئا من ذلك، فكان اختيار الحمد أولى من اختيار المدح.
ولم يقل سبحانه الشكر لله لأن الشكر لا يكون إلا على النعمة ولا يكون على صفاته الذاتية فانك لا تشكر الشخص على علمه أو قدرته وقد تحمده على ذلك وقد جاء في لسان العرب والحمد والشكر متقاربان والحمد أعمهما لأنك تحمد الإنسان على صفاته الذاتية وعلى عطائه ولا تشكره على صفاته.فكان اختيار الحمد أولى أيضاً من الشكر لأنه أعم فانك تثني عليه بنعمه الواصلة إليك والى الخلق جميعا وتثني عليه بصفاته الحسنى الذاتية وان لم يتعلق شيء منها بك. فكان اختيار الحمد أولى من المدح والشكر.
هذا من ناحية ومن ناحية أخرى أنه قال: الحمد لله ولم يقل أحمد الله أو نحمد الله وما قاله أولى من وجوه عدة:
إن القول ” أحمد الله ” أو ” نحمد اللهمختص بفاعل معين ففاعل أحمد هو المتكلم وفاعل نحمد هم المتكلمون في حين أن عبارة “الحمد لله” مطلقة لا تختص بفاعل معين وهذا أولى فإنك إذا قلتأحمد الله ” أخبرت عن حمدك أنت وحدك ولم تفد أن غيرك حمده وإذا قلت ” نحمد الله ” أخبرت عن المتكلمين ولم تفد أن غيركم حمده في حين أن عبارة “الحمد لله” لا تختص بفاعل معين فهو المحمود على وجه الإطلاق منك ومن غيرك.
وقول ” أحمد الله ” تخبر عن فعلك أنت ولا يعني ذلك أن من تحمده يستحق الحمد ؛ في حين إذا قلت ” الحمد لله” أفاد ذلك استحقاق الحمد لله وليس مرتبط بفاعل معين.
وقول ” أحمد الله ” أو ” نحمد اللهمرتبط بزمن معين لأن الفعل له دلالة زمنية معينة ، فالفعل المضارع يدل على الحال أو الاستقبال ومعنى ذلك أن الحمد لا يحدث في غير الزمان الذي تحمده فيه ، ولا شك أن الزمن الذي يستطيع الشخص أو الأشخاص الحمد فيه محدود وهكذا كل فعل يقوم به الشخص محدود الزمن فإن أقصى ما يستطيع أن يفعله أن يكون مرتبطا بعمره ولا يكون قبل ذلك وبعده فعل فيكون الحمد أقل مما ينبغي فإن حمد الله لا ينبغي أن ينقطع ولا يحد بفاعل أو بزمان في حين أن عبارة “الحمد لله” مطلقة غير مقيدة بزمن معين ولا بفاعل معين فالحمد فيها مستمر غير منقطع.
جاء في تفسير الرازي أنه لو قال ” احمد الله ” أفاد ذلك كون القائل قادرا على حمده ، أما لما قال “الحمد لله” فقد أفاد ذلك ، أنه كان محمودا قبل حمد الحامدين وقبل شكر الشاكرين فهؤلاء سواء حمدوا أم لم يحمدوا فهو تعالى محمود من الأزل إلى الأبد بحمده القديم وكلامه القديم.
وقول “أحمد الله” جملة فعلية و”الحمد لله” جملة اسمية والجملة الفعلية تدل على الحدوث والتجدد في حين أن الجملة الاسمية دالة على الثبوت وهي أقوى وأدوم من الجملة الفعلية. فاختيار الجملة الاسمية أولى من اختيار الجملة الفعلية ههنا إذ هو أدل على ثبات الحمد واستمراره.
وقول “الحمد لله” معناه أن الحمد والثناء حق لله وملكه فانه تعالى هو المستحق للحمد بسبب كثرة أياديه وأنواع آلائه على العباد. فقولنا “الحمد لله” معناه أن الحمد لله حق يستحقه لذاته ولو قال “احمد الله” لم يدل ذلك على كونه مستحقا للحمد بذاته ومعلوم أن اللفظ الدال على كونه مستحقاً للحمد أولى من اللفظ الدال على أن شخصاً واحداً حمده.
والحمد : عبارة عن صفة القلب وهي اعتقاد كون ذلك المحمود متفضلا منعما مستحقا للتعظيم والإجلال. فإذا تلفظ الإنسان بقوله : “أحمد الله” مع أنه كان قلبه غافلا عن معنى التعظيم اللائق بجلال الله كان كاذبا لأنه أخبر عن نفسه بكونه حامدا مع انه ليس كذلك. أما إذا قال “الحمد لله” سواء كان غافلاً أو مستحضراً لمعنى التعظيم فإنه يكون صادقاً لأن معناه: أن الحمد حق لله وملكه وهذا المعنى حاصل سواء كان العبد مشتغلاً بمعنى التعظيم والإجلال أو لم يكن. فثبت أن قوله “الحمد لله” أولى من قوله أحمد الله أو من نحمد الله. ونظيره قولنا “لا اله إلا الله” فانه لا يدخل في التكذيب بخلاف قولنا “اشهد أن لا اله إلا الله” لأنه قد يكون كاذبا في قوله “أشهد” ولهذا قال تعالى في تكذيب المنافقين: “والله يشهد إن المنافقين لكاذبون” (المنافقون، آية 1)
فلماذا لم يقل ” الحمدَ لله ” بالنصب؟
الجواب أن قراءة الرفع أولى من قراءة النصب ذلك أن قراءة الرفع تدل على أن الجملة اسمية في حين أن قراءة النصب تدل على أن الجملة فعلية بتقدير نحمد أو احمد أو احمدوا بالأمر. والجملة الاسمية أقوى وأثبت من الجملة الفعلية لأنها دالة على الثبوت.
وقد يقال أليس تقدير فعل الأمر في قراءة النصب أقوى من الرفع بمعنى “احمدوا الحمد لله” كما تقول “الإسراع في الأمربمعنى أسرعوا؟ والجواب لا فإن قراءة الرفع أولى أيضاً ذلك لان الأمر بالشيء لا يعني أن المأمور به مستحق للفعل. وقد يكون المأمور غير مقتنع بما أمر به فكان الحمد لله أولى من الحمد لله بالنصب في الاخبار والأمر.
ولماذا لم يقل ” حمداً لله ؟ الحمد لله معرفة بأل و” حمداً ” نكرة ؛ والتعريف هنا يفيد ما لا يفيده التنكير ذلك أن “أل” قد تكون لتعريف العهد فيكون المعنى : أن الحمد المعروف بينكم هو لله ، وقد يكون لتعريف الجنس على سبيل الاستغراق فيدل على استغراق الأحمدة كلها. ورجح بعضهم المعنى الأول ورجح بعضهم المعنى الثاني بدليل قوله صلى الله عليه وسلم: “اللهم لك الحمد كله” فدل على استغراق الحمد كله فعلى هذا يكون المعنى: أن الحمد المعروف بينكم هو لله على سبيل الاستغراق والإحاطة فلا يخرج عنه شيء من أفراد الحمد ولا أجناسه.
الحمد لله” أهي خبر أم إنشاء؟ الخبر هو ما يحتمل الصدق أو الكذب والإنشاء هو ما لا يحتمل الصدق أو الكذب.
قال أكثر النحاة والمفسرين : أن الحمد لله إخبار كأنه يخبر أن الحمد لله سبحانه وتعالى ، وقسم قال : أنها إنشاء لأن فيها استشعار المحبة وقسم قال : أنها خبر يتضمن إنشاء.
أحيانا يحتمل أن تكون التعبيرات خبرا أو إنشاء بحسب ما يقتضيه المقام الذي يقال فيه.فعلى سبيل المثال قد نقول (رزقك الله) ونقصد بها الدعاء وهذا إنشاء وقد نقول (رزقك الله وعافاك) والقصد منها أفلا تشكره على ذلك؟ وهذا خبر.
والحمد لله هي من العبارات التي يمكن أن تستعمل خبرا وإنشاء بمعنى الحمد لله خبر ونستشعر نعمة الله علينا ونستشعر التقدير كان نقولها عندما نستشعر عظمة الله سبحانه في أمر ما فنقول الحمد لله.
فلماذا لم يقل سبحانه ” إن الحمد لله ؟ لا شك أن الحمد لله لكن هناك فرق بين التعبيرين أن نجعل الجملة خبراً محضا في قول الحمد لله (ستعمل للخبر أو الإنشاء) ولكن عندما تدخل عليه ” إن لا يمكن إلا أن يكون إنشاء ، لذا فقول ” الحمد لله ” أولى لما فيه من الإجلال والتعظيم والشعور بذلك. لذا جمعت الحمد لله بين الخبر والإنشاء ومعناهما ، مثلا نقول رحمة الله عليك (هذا دعاء) وعندما نقول إن رحمة الله عليك فهذا خبر وليس دعاء
من المعلوم انه في اللغة قد تدخل بعض الأدوات على عبارات فتغير معناها مثال: رحمه الله (دعاء) ، قد رحمه الله (إخبار) ، رزقك الله (دعاء) ، قد رزقك الله (إخبار) .
لماذا لم يقل سبحانه ” لله الحمد ” ؟
الحمد الله تقال إذا كان هناك كلام يراد تخصيصه (مثال : لفلان الكتاب) تقال للتخصيص والحصر فإذا قدم الجار والمجرور على اسم العلم يكون بقصد الاختصاص والحصر (لإزالة الشك أن الحمد سيكون لغير الله)
الحمد لله في الدنيا ليست مختصة لله سبحانه وتعالى ، الحمد في الدنيا قد تقال لأستاذ أو سلطان عادل ، أما العبادة فهي قاصرة على الله سبحانه وتعالى ، المقام في الفاتحة ليس مقام اختصاص أصلاً وليست مثل ( إياك نعبد ) أو ( إياك نستعين ). فقد وردت في القران الكريم (فلله الحمد رب السموات ورب الأرض رب العالمين) الجاثية (لآية 36)
لا أحد يمنع التقديم لكن التقديم والتأخير في القرآن الكريم يكون حسب ما يقتضيه السياق ، المقام في سورة الفاتحة هو مقام مؤمنين يقرون بالعبادة ويطلبون الاستعانة والهداية ؛ أما في سورة الجاثية فالمقام في الكافرين وعقائدهم وقد نسبوا الحياة والموت لغير الله سبحانه لذا اقتضى ذكر تفضله سبحانه بأنه خلق السموات والأرض وأثبت لهم أن الحمد الأول لله سبحانه على كل ما خلق لنا فهو المحمود الأول لذا جاءت فلله الحمد مقدمة حسب ما اقتضاه السياق العام للآيات في السورة.
فلماذا التفصيل في الجاثية (رب السموات والأرض) ولم ترد في الفاتحة؟ في الجاثية تردد ذكر السموات والأرض وما فيهن وذكر ربوبية الله تعالى لهما فقد جاء في أول السورة ( إن في السموات والأرض لآيات للمؤمنين ) فلو نظرنا في جو سورة الجاثية نلاحظ ربوبية الله تعالى للسموات والأرض والخلق والعالمين مستمرة في السورة كلها. (ولله ملك السموات والأرض) يعني هو ربهما ( ويوم تقوم الساعة يخسر المبطلون) إذن هو رب العالمين ( وخلق الله السموات والأرض بالحق) فهو ربهما ( لتجزى كل نفس..) فهو رب العالمين. (فلله الحمد رب السموات ورب الأرض رب العالمين) جمع الربوبية في السموات والأرض والعالمين في آية واحدة ، أما في الكلام في الفاتحة فهو عن العالمين فقط وذكر أصناف الخلق من العالمين (المؤمنين، الضالين..) لذا ناسب التخصيص في الجاثية وليس في الفاتحة.
(وله الكبرياء في السموات والأرض وهو العزيز الحكيم) (الجاثية الآية 37) ولم يذكر الكبرياء في الفاتحة لأنه جاء في الجاثية ذكر المستكبرين بغير حق ( ويل لكل أفاك أثيم يسمع آيات الله تتلى عليه ثم يصر مستكبرا كأن لم يسمعها فبشره بعذاب أليم . وإذا علم من آياتنا شيئا اتخذها هزوا أولئك لهم عذاب مهين) (الجاثية الآيات 7-9) دل على مظهر من مظاهر الاستكبار لذا ناسب أن يرد ذكر الكبرياء في السموات والأرض. فسبحانه وتعالى يضع الكلام بميزان دقيق بما يتناسب مع السياق العام للآيات.
الحمد لله: جاء سبحانه وتعالى باسمه العلم (الله) ،لم يقل الحمد للخالق أو القدير أو أي اسم آخر من أسمائه الحسنى فلماذا جاء باسمه العلم؟ لأنه إذا جاء بأي اسم آخر غير العلم لدل على انه تعالى استحق الحمد فقط بالنسبة لهذا الاسم خاصة فلو قال الحمد للقادر لفهمت على انه يستحق الحمد للقدرة فقط لكن عند ذكر الذات (الله) فإنها تعني انه سبحانه يستحق الحمد لذاته لا لوصفه.
من ناحية أخرى ” الحمد لله ” مناسبة لما جاء بعدها (إياك نعبد) لأن العبادة كثيرا ما تختلط بلفظ الله. فلفظ الجلالة (الله) يعنى الإله المعبود مأخوذة من أله (بكسر اللام) ومعناها عبد ولفظ الله مناسب للعبادة وأكثر اسم اقترن بالعبادة هو لفظ الله تعالى (أكثر من 50 مرة اقترن لفظ الله بالعبادة في القرآن) لذا فالحمد لله مناسب لأكثر من جهة.
الحمدُ لله ” أولى من قول الحمد للسميع أو العليم أو غيرها من أسماء الله الحسنى. وقول الحمد لله أولى من قول أحمد الله أو الحمدَ لله أو حمداً لله أو إن الحمد لله أو الحمد للحي أو القادر أو السميع أو البصير. جلت حكمة الله سبحانه وتعالى وجل قوله العزيز.
رب العالمين:
الرب هو المالك والسيد والمربي والمنعم والقيِّم ، فإذن رب العالمين هو ربهم ومالكهم وسيدهم ومربيهم والمنعم عليهم وقيُمهم لذا فهو أولى بالحمد من غيره وذكر (رب العالمين) هي أنسب ما يمكن وضعه بعد (الحمد لله)
رب العالمين يقتضي كل صفات الله تعالى ويشمل كل أسماء الله الحسنى ، العالمين : جمع عالم والعالم هو كل موجود سوى الله تعالى ؛ والعالم يجمع على العوالم وعلى العالمين لكن اختيار العالمين على العوالم أمر بلاغي يعني ذلك أن العالمين خاص للمكلفين وأولي العقل (لا تشمل غير العقلاء) بدليل قوله تعالى (تبارك الذي نزل الفرقان على عبده ليكون للعالمين نذيرا) (الفرقان آية 1) ومن المؤكد انه ليس نذيرا للبهائم والجماد. وبهذا استدلوا على أن المقصود بالعالمين أولي العقل وأولي العلم أو المكلفون.
والعالمين جمع العالم بكل أصنافه لكن يغلُب العقلاء على غيرهم فيقال لهم العالمين لا يقال لعالم الحشرات أو الجماد أو البهائم العالمين وعليه فلا تستعمل كلمة العالمين إلا إذا اجتمع العقلاء مع غيرهم وغلبوا عليهم.
أما العوالم قد يطلق على أصناف من الموجودات ليس منهم البشر أو العقلاء أو المكلفون (تقال للحيوانات والحشرات والجمادات)
اختيار كلمة العالمين له سببه في سورة الفاتحة فالعالمين تشمل جيلا واحدا وقد تشمل كل المكلفين أو قسما من جيل (قالوا أولم ننهك عن العالمين) (الحجر آية 70) في قصة سيدنا لوط جاءت هنا بمعنى قسم من الرجال.
واختيار ” العالمين ” أيضاً لأن السورة كلها في المكلفين وفيها طلب الهداية وإظهار العبودية لله وتقسيم الخلق كله خاص بأولي العقل والعلم لذا كان من المناسب اختيار ” العالمين ” على غيرها من المفردات أو الكلمات. وقد ورد في آخر الفاتحة ذكر المغضوب عليهم وهم اليهود ، والعالمين رد على اليهود الذين ادعوا أن الله تعالى هو رب اليهود فقط فجاءت رب العالمين لتشمل كل العالمين لا بعضهم.
أما اختيار كلمة رب فلأنها تناسب ما بعدها (اهدنا الصراط المستقيم) لأن من معاني الرب المربي وهي أشهر معانيه وأولى مهام الرب الهداية لذا اقترنت الهداية كثيراً بلفظ الرب كما اقترنت العبادة بلفظ الله تعالى (قال فمن ربكما يا موسى قال ربنا الذي أعطى كل شيء خلقه ثم هدى) (طه آية 49-50) (فاجتباه ربه فتاب عليه وهدى) (طه آية 122) (سبح اسم ربك الأعلى الذي خلق فسوى والذي قدر فهدى) (الأعلى آية 1-3) (قل إنني هداني ربي إلى صراط مستقيم) (الأنعام آية 161) (وقل عسى أن يهدين ربي لأقرب من هذا رشدا) (الكهف آية 24) (قال كلا إن معي ربي سيهدين) (الشعراء آية 62) (وقال إني ذاهب إلى ربي سيهدين) (الصافات آية 99) (ولما توجه تلقاء مدين قال عسى ربي أن يهديني سواء السبيل) (القصص آية 22) لذا ناسب لفظرب ” مع ” اهدنا الصراط المستقيم ” وفيها طلب الهداية.
الرحمن الرحيم:
الرحمن على وزن فعلان والرحيم على وزن فعيل ومن المقرر في علم التصريف في اللغة العربية أن الصفة فعلان تمثل الحدوث والتجدد والامتلاء والاتصاف بالوصف إلى حده الأقصى فيقال غضبان بمعنى امتلأ غضبا (فرجع موسى إلى قومه غضبان أسفا) لكن الغضب زال (فلما سكت عن موسى الغضب) ومثل ذلك عطشان ، ريان ، جوعان ، يكون عطشان فيشرب فيذهب العطش
أما صيغة فعيل فهي تدل على الثبوت سواء كان خلقة ويسمى تحول في الصفات مثل طويل، جميل، قبيح فلا يقال خطيب لمن ألقى خطبة واحدة وإنما تقال لمن يمارس الخطابة وكذلك الفقيه.
هذا الإحساس اللغوي بصفات فعلان وفعيل لا يزال في لغتنا الدارجة إلى الآن فنقول بدا عليه الطول (طولان) فيرد هو طويل (صفة ثابتة) فلان ضعفان (حدث فيه شيء جديد لم يكن) فيرد هو ضعيف (هذه صفته الثابتة فهو أصلاً ضعيف)
ولذا جاء سبحانه وتعالى بصفتين تدلان على التجدد والثبوت معا فلو قال الرحمن فقط لتوهم السامع أن هذه الصفة طارئة قد تزول كما يزول الجوع من الجوعان والغضب من الغضبان وغيره. ولو قال رحيم وحدها لفهم منها أن صفة رحيم مع أنها ثابتة لكنها ليست بالضرورة على الدوام ظاهرة إنما قد تنفك مثلا عندما يقال فلان كريم فهذا لا يعني انه لا ينفك عن الكرم لحظة واحدة إنما الصفة الغالبة عليه هي الكرم.
وجاء سبحانه بالصفتين مجتمعتين ليدل على أن صفاته الثابتة والمتجددة هي الرحمة ويدل على أن رحمته لا تنقطع وهذا يأتي من باب الاحتياط للمعنى وجاء بالصفتين الثابتة والمتجددة لا ينفك عن إحداهما ، إنما هذه الصفات مستمرة ثابتة لا تنفك البتة غير منقطعة.
فلماذا إذاً قدم سبحانه الرحمن على الرحيم ؟
قدم صيغة الرحمن والتي هي الصفة المتجددة وفيها الامتلاء بالرحمة لأبعد حدودها لأن الإنسان في طبيعته عجول وكثيراً ما يؤثر الإنسان الشيء الآتي السريع وان قل على الشيء الذي سيأتي لاحقاً وإن كثر (بل تحبون العاجلة) لذا جاء سبحانه بالصفة المتجددة ورحمته قريبة ومتجددة وحادثة إليه ولا تنفك لأن رحمته ثابتة. ووقوع كلمة ” الرحيم ” بعد كلمة الرب يدلنا على أن الرحمة هي من صفات الله تعالى العليا وفيها إشارة إلى أن المربي يجب أن يتحلى بالرحمة وتكون من أبرز صفاته وليست القسوة والرب بكل معانيه ينبغي أن يتصف بالرحمة سواء كان مربياً أو سيداً أو قيما وقد وصف الله تعالى رسوله بالرحمة.
مالك يوم الدين:
هناك قراءة متواترة (ملك يوم الدين) بعض المفسرين يحاولون تحديد أي القراءتين أولى وتحديد صفة كل منهما لكن في الحقيقة ليس هناك قراءة أولى من قراءة فكلتا القراءتين متواترة نزل بهما الروح الأمين ليجمع بين معنى المالك والملك.
المالك من التملك والملك بكسر الميم (بمعنى الذي يملك الملك)
وملك بكسر اللام من الملك بضم الميم والحكم (أليس لي ملك مصر) الملك هنا بمعنى الحكم والحاكم الأعلى هو الله تعالى.
المالك قد يكون ملكا وقد لا يكون والملك قد يكون مالكا وقد لا يكون. المالك يتصرف في ملكه كما لا يتصرف الملك (بكسر اللام) والمالك عليه أن يتولى أمر مملوكه من الكسوة والطعام والملك ينظر للحكم والعدل والإنصاف. المالك أوسع لشموله العقلاء وغيرهم والملك هو المتصرف الأكبر وله الأمر والإدارة العامة في المصلحة العامة فنزلت القراءتين لتجمع بين معنى المالك والملك وتدل على انه سبحانه هو المالك وهو الملك (قل اللهم مالك الملك) الملك ملكه سبحانه وتعالى فجمع بين معنى الملكية والملك
مالك يوم الدين ، لِمَ لمْ يذكر الدنيا ؟ سواء كان مالكا أو ملكا فلماذا لم يقل مالك يوم الدين والدنيا؟
أولا قال ” الحمد لله رب العالمين ” فهو مالكهم وملكهم في الدنيا وهذا شمل الدنيا. مالك يوم الدين هو مالك يوم الجزاء يعني ملك ما قبله من أيام العمل والعمل يكون في الدنيا فقد جمع في التعبير يوم الدين والدنيا وبقوله ” يوم الدين ” شمل فيه الدنيا أيضاً.
لم قال يوم الدين ولم يقل يوم القيامة؟
الدين بمعنى الجزاء وهو يشمل جميع أنواع القيامة من أولها إلى آخرها ويشمل الجزاء والحساب والطاعة والقهر وكلها من معاني الدين وكلمة الدين انسب للفظ رب العالمين وانسب للمكلفين (الدين يكون لهؤلاء المكلفين) فهو أنسب من يوم القيامة لأن القيامة فيها أشياء لا تتعلق بالجزاء أما الدين فمعناه الجزاء وكل معانيه تتعلق بالمكلفين لان الكلام من أوله لآخره عن المكلفين لذا ناسب اختيار كلمة الدين عن القيامة.
لماذا قال مالك يوم واليوم لا يملك إنما ما فيه يملك ؟ والسبب لقصد العموم ومالك اليوم هو ملك لكل ما فيه وكل من فيه فهو أوسع وهو ملكية كل ما يجري وما يحدث في اليوم وكل ما فيه ومن فيه فهي إضافة عامة شاملة جمع فيها ما في ذلك اليوم ومن فيه وإحداثه وكل ما فيه من باب الملكية (بكسر الميم) والملكية (بضم الميم)
اقتران الحمد بهذه الصفات أحسن وأجمل اقتران. الحمد لله فالله محمود بذاته وصفاته على العموم والله هو الاسم العلم) ثم محمود بكل معاني الربوبية (رب العالمين) لان من الأرباب من لا تحمد عبوديته وهو محمود في كونه رحمن رحيم، محمود في رحمته لان الرحمة لو وضعت في غير موضعها تكون غير محمودة فالرحمة إذا لم توضع في موضعها لم تكن مدحا لصاحبها، محمود في رحمته يضعها حيث يجب أن توضع وهو محمود يوم الدين محمود في تملكه وفي مالكيته (مالك يوم الدين) محمود في ملكه ذلك اليوم (في قراءة ملك يوم الدين)
استغرق الحمد كل الأزمنة ،لم يترك سبحانه زمناً لم يدخل فيه الحمد أبداً من الأزل إلى الأبد فهو حمده قبل الخلق (الحمد لله) حين كان تعالى ولم يكن معه شيء قبل حمد الحامدين وقبل وجود الخلق والكائنات استغرق الحمد هنا الزمن الأول وعند خلق العالم (رب العالمين) واستغرق الحمد وقت كانت الرحمة تنزل ولا تنقطع (الرحمن الرحيم) واستغرق الحمد يوم الجزاء كله ويوم الجزاء لا ينتهي لأن الجزاء لا ينتهي فأهل النار خالدين فيها وأهل الجنة خالدين فيها لا ينقضي جزاؤهم فاستغرق الحمد كل الأزمنة من الأزل إلى الأبد كقوله تعالى له الحمد في الأولى والآخرة هذه الآيات جمعت أعجب الوصف.
- قوله ( إياك نعبد وإياك نستعين ):
قدم المفعولين لنعبد ونستعين وهذا التقديم للاختصاص لأنه سبحانه وتعالى وحده له العبادة لذا لم يقل نعبدك ونستعينك لأنها لا تدل على التخصيص بالعبادة لله تعالى ، أما قول ( إياك نعبد ) فتعني تخصيص العبادة لله تعالى وحده وكذلك في الاستعانة (إياك نستعين) تكون بالله حصرا (ربنا عليك توكلنا واليك أنبنا واليك المصير) (الممتحنة آية 4) كلها مخصوصة لله وحده حصرا فالتوكل والإنابة والمرجع كله إليه سبحانه (وعلى الله فليتوكل المتوكلون)(إبراهيم 12)
(قل هو الرحمن آمنا به وعليه توكلنا) (الملك آية 29) تقديم الإيمان على الجار والمجرور هنا لأن الإيمان ليس محصورا بالله وحده فقط بل علينا الإيمان بالله ورسله وكتبه وملائكته واليوم الآخر والقضاء والقدر لذا لم تأت به آمنا. أما في التوكل فجاءت وعليه توكلنا لا توكلنا عليه لان التوكل محصور بالله تعالى.
الآن لماذا كررت إياك مع فعل الاستعانة ولم يقل إياك نعبد ونستعين ؟
التكرار يفيد التنصيص على حصر المستعان به ؛ لو اقتصرنا على ضمير واحد (إياك نعبد ونستعين) لم يعني المستعان إنما عني المعبود فقط ولو اقتصرنا على ضمير واحد لفهم من ذلك انه لا يتقرب إليه إلا بالجمع بين العبادة والاستعانة بمعنى انه لا يُعبد بدون استعانة ولا يُستعان به بدون عبادة. يفهم من الاستعانة مع العبادة مجموعة تربط الاستعانة بالعبادة وهذا غير وارد وإنما هو سبحانه نعبده على وجه الاستقلال ونستعين به على وجه الاستقلال وقد يجتمعان لذا وجب التكرار في الضمير إياك نعبد وإياك نستعين. التكرار توكيد في اللغة ، في التكرار من القوة والتوكيد للاستعانة فيما ليس في الحذف.
إياك نعبد وإياك نستعين : أطلق سبحانه فعل الاستعانة ولم يحدد نستعين على شيء أو نستعين على طاعة أو غيره ، إنما أطلقها لتشمل كل شيء وليست محددة بأمر واحد من أمور الدنيا. وتشمل كل شيء يريد الإنسان أن يستعين بربه لان الاستعانة غير مقيدة بأمر محدد. وقد عبر سبحانه عن الاستعانة والعبادة بلفظ ضمير الجمع (نعبد ونستعين) وليس بالتعبير المفرد أعبد وأستعين وفي هذا إشارة إلى أهمية الجماعة في الإسلام لذا تلزم قراءة هذه السورة في الصلاة وتلزم أن صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفرد بسبع وعشرين مرة ، وفيها دليل على أهمية الجماعة عامة في الإسلام مثل الحج وصلاة الجماعة ، الزكاة ، الجهاد ،الأعياد والصيام. إضافة إلى أن المؤمنين إخوة فلو قال إياك اعبد لأغفل عبادة إخوته المؤمنين وإنما عندما نقول ( إياك نعبد ) نذكر كل المؤمنين ويدخل القائل في زمرة المؤمنين أيضاً.
لماذا قرن العبادة بالاستعانة؟
أولاً ليدل على أن الإنسان لا يستطيع أن يقوم بعبادة الله إلا بإعانة الله له وتوفيقه فهو إذن شعار وإعلان أن الإنسان لا يستطيع أن يعمل شيئاً إلا بعون الله وهو إقرار بعجز الإنسان عن القيام بالعبادات وعن حمل الأمانة الثقيلة إذا لم يعنه الله تعالى على ذلك ، الاستعانة بالله علاج لغرور الإنسان وكبريائه عن الاستعانة بالله واعتراف الإنسان بضعفه.
لماذا قدم العبادة على الاستعانة؟
العبادة هي علة خلق الإنس والجن (وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون)(الذاريات 56) والاستعانة إنما هي وسيلة للعبادة فالعبادة أولى بالتقديم.
العبادة هي حق الله والاستعانة هي مطلب من مطالبه وحق الله أولى من مطالبه.
تبدأ السورة بالحمد لله رب العالمين ، الرحمن الرحيم، مالك يوم الدين وهذه كلها من أسلوب الغيبة أي كلها للغائب ثم انتقل إلى الخطاب المباشر بقوله ( إياك نعبد وإياك نستعين ). فلو قسنا على سياق الآيات الأولى لكان أولى القول إياه نعبد وإياه نستعين. فلماذا لم يقل سبحانه هذا؟
في البلاغة يسمى هذا الانتقال من الغائب للمخاطب أو المتكلم أو العكس ” الإلتفات “. للإلتفات فائدة عامة وفائدة في المقام ، أما الفائدة العامة فهي تطرية لنشاط السامع وتحريك الذهن للإصغاء والانتباه. أما الفائدة التي يقتضيها المقام فهي إذا التفت المتكلم البليغ يكون لهذه الالتفاتة فائدة غير العامة مثال : (هو الذي يسيركم في البر والبحر حتى إذا كنتم في الفلك وجرين بهم) (يونس آية 22) لم يقل وجرين بكم فيها التفات لأنهم عندما ركبوا في البحر وجرت بهم الفلك أصبحوا غائبين وليسوا مخاطبين.
وعندما قال سبحانه الحمد لله رب العالمين فهو حاضر دائما فنودي بنداء الحاضر المخاطب . الكلام من أول الفاتحة إلى مالك يوم الدين كله ثناء على الله تعالى والثناء يكون في الحضور والغيبة والثناء في الغيبة أصدق وأولى أما ( إياك نعبد وإياك نستعين )فهو دعاء والدعاء في الحضور أولى وأجدى ؛ إذن الثناء في الغيبة أولى والدعاء في الحضور أولى والعبادة تؤدى في الحاضر وهي أولى.
- قوله ( اهدنا الصراط المستقيم )
هذا دعاء ولا دعاء مفروض على المسلم قوله غير هذا الدعاء فيتوجب على المسلم قوله عدة مرات في اليوم وهذا بدوره يدل على أهمية الطلب وهذا الدعاء لان له أثره في الدنيا والآخرة ويدل على أن الإنسان لا يمكن أن يهتدي للصراط المستقيم بنفسه إلا إذا هداه الله تعالى لذلك. إذا ترك الناس لأنفسهم لذهب كل إلى مذهبه ولم يهتدوا إلى الصراط المستقيم وبما أن هذا الدعاء في الفاتحة ولا صلاة بدون فاتحة فلذا يجب الدعاء به في الصلاة الفريضة وهذا غير دعاء السنة في (ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة) (البقرة آية 201)
والهداية : هي الإلهام والدلالة. وفعل الهداية هدى يهدي في العربية قد يتعدى بنفسه دون حرف جر مثل ” اهدنا الصراط المستقيم ” (تعدى الفعل بنفسه) وقد يتعدى بإلى (وانك لتهدي إلى صراط مستقيم) (الشورى آية 52) (وأهديك إلى ربك فتخشى) (النازعات آية 19) وقد يتعدى باللام (الحمد لله الذي هدانا لهذا ) (الأعراف 43) (بل الله يمن عليكم أن هداكم للإيمان)(الحجرات آية 17)
ذكر أهل اللغة أن الفرق بين التعدية بالحرف والتعدية بالفعل نفسه أن التعدية بالحرف تستعمل عندما لا تكون الهداية فيه بمعنى أن المهدي كان خارج الصراط فهداه الله له فيصل بالهداية إليه. والتعدية بدون حرف تقال لمن يكون فيه ولمن لا يكون فيه كقولناهديته الطريق ” قد يكون هو في الطريق فنعرفه به وقد لا يكون في الطريق فنوصله إليه. (فاتبعني أهدك صراطا سويا) (مريم آية 43) أبو سيدنا إبراهيم لم يكن في الطريق ، (ولهديناهم صراطا مستقيما) (النساء آية 68) والمنافقون ليسوا في الطريق. واستعملت لمن هم في الصراط (وقد هدانا سبلنا) (إبراهيم آية 12) قيلت في رسل الله تعالى وقال تعالى مخاطبا رسوله (ويهديك صراطا مستقيما) (الفتح آية 2) والرسول مالك للصراط. استعمل الفعل المعدى بنفسه في الحالتين.
التعدية باللام وإلى لمن لم يكن في الصراط (فاحكم بيننا بالحق ولا تشطط واهدنا إلى سواء الصراط) (ص آية 22) (هل من شركائكم من يهدي إلى الحق)(يونس آية 35)
وتستعمل هداه له بمعنى بينه له والهداية على مراحل وليست هداية واحدة فالبعيد عن الطريق، الضال، يحتاج من يوصله إليه ويدله عليه (نستعمل هداه إليه) والذي يصل إلى الطريق يحتاج الى هاد يعرفه بأحوال الطريق وأماكن الأمن والنجاة والهلاك للثقة بالنفس ثم إذا سلك الطريق في الأخير يحتاج إلى من يريه غايته واستعمل سبحانه اللام (الحمد لله الذي هدانا لهذا وما كنا لنهتدي لولا أن هدانا الله) (الأعراف آية 43) وهذه خاتمة الهدايات.
ونلخص ما سبق على النحو التالي:
-إنسان بعيد يحتاج من يوصله إلى الطريق نستعمل الفعل المتعدي بإلى .
-إذا وصل ويحتاج من يعرفه بالطريق وأحواله نستعمل الفعل المتعدي بنفسه .
-إذا سلك الطريق ويحتاج إلى من يبلغه مراده نستعمل الفعل المتعدي باللام .
الهداية مع اللام لم تستعمل مع السبيل أو الصراط أبدا في القرآن لان الصراط ليست غاية إنما وسيلة توصل للغاية واللام إنما تستعمل عند الغاية. وقد اختص سبحانه الهداية باللام له وحده أو للقرآن لأنها خاتمة الهدايات كقوله (إن هذا القرآن يهدي للتي هي أقوم) (الإسراء آية 9) وقوله (يهدي الله لنوره من يشاء) (النور آية 35)
قد نقول جاءت الهدايات كلها بمعنى واحد مع اختلاف الحروف.
- (قل هل من شركائكم من يهدي إلى الحق قل الله يهدي للحق أفمن يهدي إلى الحق أحق أن يتبع امن لا يهدي إلا أن يهدى) (يونس آية 35)
جاءت يهدي للحق المقترنة بالله تعالى لان معنى الآيات تفيد هل من شركائكم من يوصل إلى الحق قل الله يهدي للحق الله وحده يرشدك ويوصلك إلى خاتمة الهدايات ، يعني أن الشركاء لا يعرفون أين الحق ولا كيف يرشدون إليه ويدلون عليه.
- (يهدي به الله من اتبع رضوانه سبل السلام ويخرجهم من الظلمات إلى النور بإذنه ويهديهم إلى صراط مستقيم) (المائدة آية 16)
استعمل الهداية معداة بنفسها بدون حرف واستعملها في سياق واحد مع الفعل المعدى بإلى ومعنى الآيات انه من اتبع رضوان الله وليس بعيدا ولا ضالا استعمل له الفعل المعدى بنفسه والذي في الظلمات هو بعيد عن الصراط ويحتاج إلى من يوصله إلى الصراط لذا قال يهديهم إلى صراط مستقيم (استعمل الفعل المعدى بإلى)
نعود إلى الآية ” اهدنا الصراط المستقيم ” (الفعل معدى بنفسه) وهنا استعمل هذا الفعل المعدى بنفسه لجمع عدة معاني فالذي انحرف عن الطريق نطلب من الله تعالى أن يوصله إليه والذي في الطريق نطلب من الله تعالى أن يبصره بأحوال الطريق والثبات والتثبيت على الطريق.
وهنا يبرز تساؤل آخر ونقول كما سبق وقدم سبحانه مفعولي العبادة والاستعانة في (إياك نعبد وإياك نستعين) فلماذا لم يقل سبحانه إيانا اهدي؟ هذا المعنى لا يصح فالتقديم بـ ( إياك نعبد وإياك نستعين ) تقيد الاختصاص ولا يجوز أن نقول إيانا اهدي بمعنى خصنا بالهداية ولا تهدي أحداً غيرنا فهذا لا يجوز لذلك لا يصح التقديم هنا. المعنى تطلب التقديم في المعونة والاستعانة ولم يتطلبه في الهداية لذا قال ( اهدنا الصراط المستقيم ) .
فلم قال ( اهدنا ) ولم يقل اهدني؟
لأنه مناسب لسياق الآيات السابقة وكما في آيات الاستعانة والعبادة اقتضى الجمع في الهداية أيضاً.
فيه إشاعة لروح الجماعة وقتل لروح الأثرة والأنانية وفيه نزع الأثرة والاستئثار من النفس بان ندعو للآخرين بما ندعو به لأنفسنا.
الاجتماع على الهدى وسير المجموعة على الصراط دليل قوة فإذا كثر السالكون يزيد الأنس ويقوى الثبات فالسالك وحده قد يضعف وقد يمل أو يسقط أو تأكله الذئاب ، فكلما كثر السالكون كان ادعى للاطمئنان والاستئناس.
والاجتماع رحمة والفرقة عذاب يشير لله تعالى إلى أمر الاجتماع والأنس بالاجتماع وطبيعة حب النفس للاجتماع كما ورد في قوله الكريم (ومن يطع الله ورسوله ندخله جنات تجري من تحتها الأنهار خالدين فيها) (النساء آية 13) خالدين جاءت بصيغة الجمع لان المؤمنين في الجنة يستمتعون بالأنس ببعضهم وقوله (ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده يدخله نارا خالدا فيها وله عذاب مهين) (النساء آية 14) في العذاب فيزيد على عذاب الكافر عذاب الوحدة فكأنما عذبه الله تعالى بشيئين النار والوحدة.
لذا فعندما قال سبحانه وتعالى (اهدنا الصراط المستقيم ) فيه شيء من التثبيت والاستئناس ، هذا الدعاء ارتبط بأول السورة وبوسطها وآخرها. الحمد لله رب العالمين مهمة الرب هي الهداية وكثيرا ما اقترنت الهداية باسم الرب فهو مرتبط برب العالمين وارتبط بقوله الرحمن الرحيم لان من هداه الله فقد رحمه وأنت الآن تطلب من الرحمن الرحيم الهداية أي تطلب من الرحمن الرحيم أن لا يتركك ضالا غير مهتد ثم قال ( إياك نعبد وإياك نستعين )فلا تتحقق العبادة إلا بسلوك الطريق المستقيم وكذلك الاستعانة ومن الاستعانة طلب الهداية للصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم أي صراط الذين سلكوا الصراط المستقيم، ولا الضالين، والضالون هم الذين سلكوا غير الصراط المستقيم فالهداية والضلال نقيضان والضالين نقيض الذين سلكوا الصراط المستقيم.
لماذا اختار كلمة الصراط بدلا من الطريق أو السبيل؟ لو لاحظنا البناء اللغوي للصراط هو على وزن (فعال بكسر الفاء) وهو من الأوزان الدالة على الاشتمال كالحزام والشداد والسداد والخمار والغطاء والفراش، هذه الصيغة تدل على الاشتمال بخلاف كلمة الطريق التي لا تدل على نفس المعنى. الصراط يدل على انه واسع رحب يتسع لكل السالكين ، أما كلمة طريق فهي على وزن فعيل بمعنى مطروق أي مسلوك والسبيل على وزن فعيل ونقول أسبلت الطريق إذا كثر السالكين فيها لكن ليس في صيغتها ما يدل على الاشتمال. فكلمة ” الصراط ” تدل على الاشتمال والوسع هذا في أصل البناء اللغوي (قال الزمخشري في كتابه الكشاف : الصراط من صرط كأنه يبتلع السبل كلما سلك فيه السالكون وكأنه يبتلعهم من سعته).
- قوله ( صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين )
لماذا جاءت كلمة الصراط معرفة بأل مرة ومضافة مرة أخرى (صراط الذين أنعمت عليهم)؟ جاءت كلمة الصراط مفردة ومعرفة بتعريفين: بالألف واللام والإضافة وموصوفا بالاستقامة مما يدل على انه صراط واحد (موصوف بالاستقامة لأنه ليس بين نقطتين إلا طريق مستقيم واحد والمستقيم هو أقصر الطرق وأقربها وصولا إلى الله) وأي طريق آخر غير هذا الصراط المستقيم لا يوصل إلى المطلوب ولا يوصل إلى الله تعالى. والمقصود بالوصول إلى الله تعالى هو الوصول إلى مرضاته فكلنا واصل إلى الله وليس هناك من طريق غير الصراط المستقيم. (إن هذه تذكرة فمن شاء اتخذ إلى ربه سبيلا) (المزمل آية 19) (الإنسان آية 29) (إن ربي على صراط مستقيم)(هود آية 56) (قال هذا صراط علي مستقيم) (الحجر آية 41)
وردت كلمة الصراط في القرآن مفردة ولم ترد مجتمعة أبداً بخلاف السبيل فقد وردت مفردة ووردت جمعا (سبل) لان الصراط هو الأوسع وهو الذي تفضي إليه كل السبل (فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله) (الأنعام 153) (يهدي به الله من اتبع رضوانه سبل السلام) (المائدة 16) (والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا) (العنكبوت 69) (هذه سبيلي أدعو إلى الله على بصيرة ) (يوسف آية 108) الصراط هو صراط واحد مفرد لأنه هو طريق الإسلام الرحب الواسع الذي تفضي إليه كل السبل واتباع غير هذا الصراط ينأى بنا عن المقصود ثم زاد هذا الصراط توضيحا وبيانا بعد وصفه بالاستقامة وتعريفه بأل بقول (صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين) جمعت هذه الآية كل أصناف الخلق المكلفين ولم تستثني منهم أحداً فذكر:
الذين انعم الله عليهم هم الذين سلكوا الصراط المستقيم وعرفوا الحق وعملوا بمقتضاه.
الذين عرفوا الحق وخالفوه (المغضوب عليهم) ويقول قسم من المفسرين أنهم العصاة.
الذين لم يعرفوا الحق وهم الضالين (قل هل أنبئكم بالأخسرين أعمالا الذين ضل سعيهم في الحياة الدنيا وهم يحسبون أنهم يحسنون صنعا) (الكهف آية 103-104) هذا الحسبان لا ينفعهم إنما هم من الأخسرين.
ولا يخرج المكلفون عن هذه الأصناف الثلاثة فكل الخلق ينتمي لواحد من هذه الأصناف.
وقال تعالى (صراط الذين أنعمت عليهم) ولم يقل تنعم عليهم فلماذا ذكر الفعل الماضي؟
اختار الفعل الماضي على المضارع أولاً: ليتعين زمانه ليبين صراط الذين تحققت عليهم النعمة (ومن يطع الله والرسول فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن اولئك رفيقا) (النساء آية 69) صراط الذين أنعمت عليهم يدخل في هؤلاء. وإذا قال تنعم عليهم لأغفل كل من انعم عليهم سابقا من رسل الله والصالحين ولو قال تنعم عليهم لم يدل في النص على انه سبحانه انعم على احد ولاحتمل أن يكون صراط الأولين غير الآخرين ولا يفيد التواصل بين زمر المؤمنين من آدم عليه السلام إلى أن تقوم الساعة. مثال: اذا قلنا أعطني ما أعطيت أمثالي فمعناه أعطني مثل ما أعطيت سابقا، ولو قلنا أعطني ما تعطي أمثالي فهي لا تدل على أنه أعطى أحداً قبلي.
ولو قال ” تنعم عليهم ” لكان صراط هؤلاء اقل شأنا من صراط الذين أنعم عليهم فصراط الذين انعم عليهم من أولي العزم من الرسل والأنبياء والصديقين أما الذين تنعم عليهم لا تشمل هؤلاء. فالإتيان بالفعل الماضي يدل على انه بمرور الزمن يكثر عدد الذين انعم الله عليهم فمن ينعم عليهم الآن يلتحق بالسابقين من الذين انعم الله عليهم فيشمل كل من سبق وانعم الله عليهم فهم زمرة كبيرة من أولي العزم والرسل وأتباعهم والصديقين وغيرهم وهكذا تتسع دائرة المنعم عليهم ، أما الذين تنعم عليهم تختص بوقت دون وقت ويكون عدد المنعم عليهم قليل لذا كان قوله سبحانه أنعمت عليهم أوسع وأشمل واعم من الذين تنعم عليهم.
لماذا قال صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين؟
أي لماذا عبر عن الذين أنعم عليهم باستخدام الفعل (أنعمت) والمغضوب عليهم والضالين بالاسم؟
الاسم يدل على الشمول ويشمل سائر الأزمنة من المغضوب عليهم والدلالة على الثبوت. أما الفعل فيدل على التجدد والحدوث فوصفه أنهم مغضوب عليهم وضالون دليل على الثبوت والدوام.
إذن فلماذا لم يقل المنعم عليهم للدلالة على الثبوت؟
لو قال صراط المنعم عليهم بالاسم لم يتبين المعنى أي من الذي أنعم إنما بين المنعِم (بكسر العين) في قوله ( أنعمت عليهم ) لأن معرفة المنعِم مهمة فالنعم تقدر بمقدار المنعِم (بكسر العين) لذا أراد سبحانه وتعالى أن يبين المنعم ليبين قدرة النعمة وعظيمها ومن عادة القرآن أن ينسب الخير إلى الله تعالى وكذلك النعم والتفضل وينزه نسبة السوء إليه سبحانه (وأنا لا ندري أشر أريد بمن في الأرض أم أراد بهم ربهم رشدا) (الجن آية 10) والله سبحانه لا ينسب السوء لنفسه فقد يقول (إن الذين لا يؤمنون بالآخرة زينا لهم أعمالهم فهم يعمهون) (النمل آية 4) لكن لا يقول زينا لهم سوء أعمالهم (زين لهم سوء أعمالهم) (التوبة آية 37) (زين للناس حب الشهوات ) (آل عمران آية 14) (وزين لفرعون سوء عمله). (غافر آية 37) (أفمن زين له سوء عمله) (فاطر آية Description: 8)(وإذ زين لهم الشيطان أعمالهم) (الأنفال آية 48) أما النعمة فينسبها الله تعالى إلى نفسه لأن النعمة كلها خير (ربي بما أنعمت علي) (القصص آية 17) (إن هو إلا عبد أنعمنا عليه) (الزخرف آية 59) (وإذا أنعمنا على الإنسان أعرض ونئا بجانبه وإذا مسه الشر كان يؤوسا) (الإسراء آية 83) ولم ينسب سبحانه النعمة لغيره إلا في آية واحدة (وإذ تقول للذي انعم الله عليه وأنعمت عليه أمسك عليك زوجك) (الأحزاب آية 37) فهي نعمة خاصة بعد نعمة الله تعالى عليه.
لماذا قال ” المغضوب عليهم ” ولم يقل أغضبت عليهم؟ جاء باسم المفعول وأسنده للمجهول ولذا ليعم الغضب عليهم من الله والملائكة وكل الناس حتى أصدقاؤهم يتبرأ بعضهم من بعض حتى جلودهم تتبرأ منهم ولذا جاءت المغضوب عليهم لتشمل غضب الله وغضب الغاضبين.
غير المغضوب عليهم ولا الضالين: لم كرر لا؟ وقال غير المغضوب عليهم والضالين؟ إذا حذفت (لا) يمكن أن يُفهم أن المباينة والابتعاد هو فقط للذين جمعوا الغضب والضلالة فقط ، أما من لم يجمعها (غير المغضوب عليهم ولا الضالين) فلا يدخل في الاستثناء ، فإذا قلنا مثلا : لا تشرب الحليب واللبن الرائب (أي لا تجمعهما) أما إذا قلنا : لا تشرب الحليب ولا تشرب اللبن الرائب كان النهي عن كليهما إن اجتمعا أو انفردا.
فلماذا قدم إذن المغضوب عليهم على الضالين؟ المغضوب عليهم : الذين عرفوا ربهم ثم انحرفوا عن الحق وهم اشد بعدا لان ليس من علم كمن جهل لذا بدأ بالمغضوب عليهم وفي الحديث الصحيح أن المغضوب عليهم هم اليهود وأما النصارى فهم الضالون. واليهود أسبق من النصارى ولذا بدأ بهم واقتضى التقديم.
وصفة المغضوب عليهم هي أول معصية ظهرت في الوجود وهي صفة إبليس عندما أُمر بالسجود لآدم عليه السلام وهو يعرف الحق ومع ذلك عصى الله تعالى وهي أول معصية ظهرت على الأرض أيضاً عندما قتل ابن آدم أخاه فهي إذن أول معصية في الملأ الأعلى وعلى الأرض (ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الله عليه) (النساء آية 93) ولذا بدأ بها.
أما جعل المغضوب عليهم بجانب المنعم عليهم فلأن المغضوب عليهم مناقض للمنعم عليهم والغضب مناقض للنعم.
خاتمة سورة الفاتحة هي مناسبة لكل ما ورد في السورة من أولها إلى آخرها فمن لم يحمد الله تعالى فهو مغضوب عليه وضال ومن لم يؤمن بيوم الدين وأن الله سبحانه وتعالى مالك يوم الدين وملكه ومن لم يخص الله تعالى بالعبادة والاستعانة ومن لم يهتد إلى الصراط المستقيم فهم جميعاً مغضوب عليهم وضالون.
ولقد تضمنت السورة الإيمان والعمل الصالح، الإيمان بالله (الحمد لله رب العالمين) واليوم الآخر (مالك يوم الدين) والملائكة والرسل والكتب (اهدنا الصراط المستقيم) لما تقتضيه من إرسال الرسل والكتب. وقد جمعت هذه السورة توحيد الربوبية (رب العالمين) وتوحيد الإلوهية (إياك نعبد وإياك نستعين) ولذا فهي حقاً أم الكتاب.3) يقول الدكتور أحمد الكبيسي في كلمة الصراط وأخواتها في القرآن الكريم في برنامجه الكلمة وأخواتها في القرآن الكريم على قناة دبي الفضائية في شرح كلمة الصراط وأخواتها في القرآن الكريم وكيف أن كل كلمة منها وردت في القرآن في مكانها المناسب والمعنى الذي تأتي به كل كلمة لا يمكن أن يكون إلا من عند العلي العظيم الذي وضع كل كلمة بميزانها وبمكانها الذي لا يمكن لكلمة أخرى أن تأتي بنفس معناها :
مرادفات كلمة الطريق تأتي على النحو التالي: إمام – صراط – طريق – سبيل – نهج – فج – جدد (جمع جادة) – نفق
وجاء معنى كل منها العام على النحو التالي:
إمام: وهو الطريق العام الرئيسي الدولي الذي يربط بين الدول وليس له مثيل وتتميز أحكامه في الإسلام بتميز تخومه. وقدسية علامات المرور فيه هي من أهم صفاته وهو بتعبيرنا الحاضر الطريق السريع بين المدن (Highway). وقد استعير هذا اللفظ في القرآن الكريم ليدل على الشرائع (يوم ندعو كل أناس بإمامهم) (الإسراء آية 71 ) أي كل ما عندهم من شرائع وجاء أيضا بمعنى كتاب الله (وكل شئ أحصيناه في إمام مبين) (يس آية 12)
صراط: هو كل ممر بين نقطتين متناقضتين كضفتي نهر أو قمتي جبلين أو الحق والباطل والضلالة والهداية في الإسلام أو الكفر والإيمان. والصراط واحد لا يتكرر في مكان واحد ولا يثنى ولا يجمع. وقد استعير في القرآن الكريم للتوحيد فلا إله إلا الله تنقل من الكفر إلى الإيمان (قل إنني هداني ربي إلى صراط مستقيم) ( الأنعام آية 161) (من يشأ الله يضلله ومن يشأ يجعله على صراط مستقيم) ( الأنعام آية 39) (اهدنا الصراط المستقيم) (الفاتحة آية 7) (فاتبعني أهدك صراطا سويا) (مريم آية 43 ) (وان الذين لا يؤمنون بالآخرة عن الصراط لناكبون) (المؤمنون آية 74 )
والصراط عموما هو العدل المطلق لله تعالى وما عداه فهو نسبي. (إن ربي على صراط مستقيم) ( هود آية 56 ) والتوحيد هو العدل المطلق وما عداه فهو نسبي.
سبيل: الطريق الذي يأتي بعد الصراط وهو ممتد طويل آمن سهل لكنه متعدد (سبل جمع سبيل) (والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا) ( العنكبوت آية 69 )السبل متعددة ولكن شرطها أن تبدأ من نقطة واحدة وتصب في نقطة واحدة عند الهدف. وفيه عناصر ثلاث: ممتد، متحرك ويأخذ إلى غاية.
و المذاهب في الإسلام من السبل كلها تنطلق من نقطة واحدة وتصل إلى غاية واحدة. وسبل السلام تأتي بعد الإيمان والتوحيد بعد عبور الصراط المستقيم. ولتقريب الصورة إلى الأذهان فيمكن اعتبار السبل في عصرنا الحاضر وسائل النقل المتعددة فقد ينطلق الكثيرون من نقطة واحدة قاصدين غاية واحدة لكن منهم من يستقل الطائرة ومنهم السيارة ومنهم الدراجة ومنهم الدواب وغيرها.
واستخدمت كلمة السبيل في القرآن بمعنى حقوق في قوله (ليس علينا في الأميين سبيل) (آل عمران آية 75 )
وابن السبيل في القرآن هو من انقطع عن أهله انقطاعا بعيدا وهدفه واضح ومشروع كالمسافر في تجارة أو للدعوة فلا تعطى الزكاة لمن انقطع عن أهله بسبب غير مشروع كالخارج في معصية أو ما شابه.
طريق:الطريق يكون داخل المدينة وللطرق حقوق خاصة بها وقد سميت طرقا لأنها تطرق كثيرا بالذهاب والإياب المتكرر من البيت إلى العمل والعكس. والطريق هي العبادات التي نفعلها بشكل دائم كالصلاة والزكاة والصوم والحج والذكر. (يهدي إلى الحق وإلى طريق مستقيم) (الأحقاف آية 30)
نهج: وهو عبارة عن ممرات خاصة لا يمر بها إلا مجموعة خاصة من الناس وهي كالعبادات التي يختص بها قوم دون قوم مثل نهج القائمين بالليل ونهج المجاهدين في سبيل الله ونهج المحسنين وأولي الألباب وعباد الرحمن فكل منهم يعبد الله تعالى بمنهج معين وعلى كل مسلم أن يتخذ لنفسه نهجا معينا خاصا به يعرف به عند الله تعالى كبر الوالدين والذكر والجهاد والدعاء والقرآن والإحسان وغيرها (لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا) ( المائدة آية 48 ) وإذا لاحظنا وصفها في القرآن وجدنا لها ثلاثة صفات والإنفاق فيها صفة مشتركة.
1- نهج المستغفرين بالأسحار: (كانوا قليلا من الليل ما يهجعون وبالأسحار هم يستغفرون وفي أموالهم حق للسائل والمحروم) ( الذاريات آية 17 – 19 )
2- ونهج أهل التهجد: (تتجافى جنوبهم عن المضاجع يدعون ربهم خوفا وطمعا ومما رزقناهم ينفقون) (السجدة آية 16)
3- ونهج المحسنين: (الذين ينفقون بالسراء والضراء والكاظمين الغيظ والعافين عن الناس) ( آل عمران آية 134 )
فج: وهو الطريق بين جبلين (وأذن في الناس بالحج يأتوك رجالا وعلى كل ضامر يأتين من كل فج عميق) (الحج آية 27)
جادة: وتجمع على جدد كما وردت في القرآن الكريم (ومن الجبال جدد بيض وحمر) (فاطر آية 27 ) والجادة هي الطريق الذي يرسم في الصحراء أو الجبال من شدة الأثر ومن كثرة سلوكه.
نفق: وهو الطريق تحت الأرض (فان استطعت أن تبتغي نفقاً في الأرض) (الأنعام آية 35 )
أي لماذا عبر عن الذين أنعم عليهم باستخدام الفعل (أنعمت) والمغضوب عليهم والضالين بالاسم؟
الاسم يدل على الشمول ويشمل سائر الأزمنة من المغضوب عليهم والدلالة على الثبوت. أما الفعل فيدل على التجدد والحدوث فوصفه أنهم مغضوب عليهم وضالون دليل على الثبوت والدوام.
إذن فلماذا لم يقل المنعم عليهم للدلالة على الثبوت؟
لو قال صراط المنعم عليهم بالاسم لم يتبين المعنى أي من الذي أنعم إنما بين المنعِم (بكسر العين) في قوله ( أنعمت عليهم ) لأن معرفة المنعِم مهمة فالنعم تقدر بمقدار المنعِم (بكسر العين) لذا أراد سبحانه وتعالى أن يبين المنعم ليبين قدرة النعمة وعظيمها ومن عادة القرآن أن ينسب الخير إلى الله تعالى وكذلك النعم والتفضل وينزه نسبة السوء إليه سبحانه (وأنا لا ندري أشر أريد بمن في الأرض أم أراد بهم ربهم رشدا) (الجن آية 10) والله سبحانه لا ينسب السوء لنفسه فقد يقول (إن الذين لا يؤمنون بالآخرة زينا لهم أعمالهم فهم يعمهون) (النمل آية 4) لكن لا يقول زينا لهم سوء أعمالهم (زين لهم سوء أعمالهم) (التوبة آية 37) (زين للناس حب الشهوات ) (آل عمران آية 14) (وزين لفرعون سوء عمله). (غافر آية 37) (أفمن زين له سوء عمله) (فاطر آية Description: 8)(وإذ زين لهم الشيطان أعمالهم) (الأنفال آية 48) أما النعمة فينسبها الله تعالى إلى نفسه لأن النعمة كلها خير (ربي بما أنعمت علي) (القصص آية 17) (إن هو إلا عبد أنعمنا عليه) (الزخرف آية 59) (وإذا أنعمنا على الإنسان أعرض ونئا بجانبه وإذا مسه الشر كان يؤوسا) (الإسراء آية 83) ولم ينسب سبحانه النعمة لغيره إلا في آية واحدة (وإذ تقول للذي انعم الله عليه وأنعمت عليه أمسك عليك زوجك) (الأحزاب آية 37) فهي نعمة خاصة بعد نعمة الله تعالى عليه.
لماذا قال ” المغضوب عليهم ” ولم يقل أغضبت عليهم؟ جاء باسم المفعول وأسنده للمجهول ولذا ليعم الغضب عليهم من الله والملائكة وكل الناس حتى أصدقاؤهم يتبرأ بعضهم من بعض حتى جلودهم تتبرأ منهم ولذا جاءت المغضوب عليهم لتشمل غضب الله وغضب الغاضبين.
غير المغضوب عليهم ولا الضالين: لم كرر لا؟ وقال غير المغضوب عليهم والضالين؟ إذا حذفت (لا) يمكن أن يُفهم أن المباينة والابتعاد هو فقط للذين جمعوا الغضب والضلالة فقط ، أما من لم يجمعها (غير المغضوب عليهم ولا الضالين) فلا يدخل في الاستثناء ، فإذا قلنا مثلا : لا تشرب الحليب واللبن الرائب (أي لا تجمعهما) أما إذا قلنا : لا تشرب الحليب ولا تشرب اللبن الرائب كان النهي عن كليهما إن اجتمعا أو انفردا.
فلماذا قدم إذن المغضوب عليهم على الضالين؟ المغضوب عليهم : الذين عرفوا ربهم ثم انحرفوا عن الحق وهم اشد بعدا لان ليس من علم كمن جهل لذا بدأ بالمغضوب عليهم وفي الحديث الصحيح أن المغضوب عليهم هم اليهود وأما النصارى فهم الضالون. واليهود أسبق من النصارى ولذا بدأ بهم واقتضى التقديم.
وصفة المغضوب عليهم هي أول معصية ظهرت في الوجود وهي صفة إبليس عندما أُمر بالسجود لآدم عليه السلام وهو يعرف الحق ومع ذلك عصى الله تعالى وهي أول معصية ظهرت على الأرض أيضاً عندما قتل ابن آدم أخاه فهي إذن أول معصية في الملأ الأعلى وعلى الأرض (ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الله عليه) (النساء آية 93) ولذا بدأ بها.
أما جعل المغضوب عليهم بجانب المنعم عليهم فلأن المغضوب عليهم مناقض للمنعم عليهم والغضب مناقض للنعم.
خاتمة سورة الفاتحة هي مناسبة لكل ما ورد في السورة من أولها إلى آخرها فمن لم يحمد الله تعالى فهو مغضوب عليه وضال ومن لم يؤمن بيوم الدين وأن الله سبحانه وتعالى مالك يوم الدين وملكه ومن لم يخص الله تعالى بالعبادة والاستعانة ومن لم يهتد إلى الصراط المستقيم فهم جميعاً مغضوب عليهم وضالون.
ولقد تضمنت السورة الإيمان والعمل الصالح، الإيمان بالله (الحمد لله رب العالمين) واليوم الآخر (مالك يوم الدين) والملائكة والرسل والكتب (اهدنا الصراط المستقيم) لما تقتضيه من إرسال الرسل والكتب. وقد جمعت هذه السورة توحيد الربوبية (رب العالمين) وتوحيد الإلوهية (إياك نعبد وإياك نستعين) ولذا فهي حقاً أم الكتاب.